Pengertian Hadits
Hadits adalah segala
perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an,
Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun
yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama,
yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam
Ahmad, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
- Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
- Hadits Mutawatir
- Hadits Ahad
- Hadits Shahih
- Hadits Hasan
- Hadits Dha’if
- Menurut Macam Periwayatannya
- Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu’ atau Maushul)
- Hadits yang terputus sanadnya
- Hadits Mu’allaq
- Hadits Mursal
- Hadits Mudallas
- Hadits Munqathi
- Hadits Mu’dhol
- Hadits-hadits dha’if disebabkan oleh cacat perawi
- Hadits Maudhu’
- Hadits Matruk
- Hadits Mungkar
- Hadits Mu’allal
- Hadits Mudhthorib
- Hadits Maqlub
- Hadits Munqalib
- Hadits Mudraj
- Hadits Syadz
- Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
- Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi
I.A. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk
berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca
indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu
juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
- Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
- Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath’iy.
- Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
I.B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya
atau tingkatannya adalah “zhonniy”. Sebelumnya para ulama membagi
hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if.
Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga
macam, yaitu:
I.B.1. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih
ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang
adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak
bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal
(tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai
berikut :
- Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
- Harus bersambung sanadnya
- Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
- Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
- Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
- Tidak cacat walaupun tersembunyi.
I.B.2. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
I.B.3. Hadits Dha’if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
II. Menurut Macam Periwayatannya
II.A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu’ atau Maushul.
II.B. Hadits yang terputus sanadnya
II.B.1. Hadits Mu’allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang
tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang
atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.
II.B.2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh para tabi’in dari Nabi Muhammad SAW
tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
II.B.3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan
cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan
kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik
dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah
hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
II.B.4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu
hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain
sahabat dan tabi’in.
II.B.5. Hadits Mu’dhol
Disebut juga hadits yang terputus
sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi’it dan tabi’in
dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi’in
yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih
tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha’if.
III. Hadits-hadits dha’if disebabkan oleh cacat perawi
III.A. Hadits Maudhu’
Yang berarti yang dilarang, yaitu
hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta.
Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas
disebut hadits.
III.B. Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan,
yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja
sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
III.C. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan
oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
III.D. Hadits Mu’allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau
cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi.
Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang
nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya.
Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati)
atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
III.E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan
(isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang
dikompromikan.
III.F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan
mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad
(silsilah) maupun matan (isi).
III.G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
III.H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits,
baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
III.I. Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan
dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat /
pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz
sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak
dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.
IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
IV.A. Muttafaq ‘Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari – Muslim.
IV.B. As Sab’ah
As Sab’ah berarti tujuh perawi, yaitu:
- Imam Ahmad
- Imam Bukhari
- Imam Muslim
- Imam Abu Daud
- Imam Tirmidzi
- Imam Nasa’i
- Imam Ibnu Majah
IV.C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab’ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
IV.D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab’ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
IV.E. Al Arba’ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab’ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
IV.F. Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab’ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
IV.G. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
IV.H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan
dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij)
hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan)
hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran.
Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah
perawi juga.
IV.I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda
Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang
diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Riyadhus Shalihin
Sejarah Penyusunan Hadits
Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam masih hidup, hadits belum ditulis dan masih berupa hapalan yang
ada dibenak para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk
melakukan penulisan, mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai
keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara sahabat, tidak semuanya bergaul
dengan nabi. Ada yang sering menyertai atau ada yang hanya beberapa kali
saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu, hadits yang dimiliki setiap sahabat
itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula
ketelitiannya. Namun demikian, diantara para sahabat itu sering bertukar
berita (hadist) sehingga perilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani,
ditaati, dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada
waktu Nabi Muhammad masih hidup.
Dengan demikian, pelaksanaan hadist dikalangan umat Islam pada saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad masih hidup, oleh ahli hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba’ah Ma’rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran hadist.
Dengan demikian, pelaksanaan hadist dikalangan umat Islam pada saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad masih hidup, oleh ahli hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba’ah Ma’rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran hadist.
Meski pada masa itu, hadist berada pada
ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk
kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum).
Diantaranya ialah :
‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
‘Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai hukum-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).
Masa Penggalian
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H /
632 M), pada awalnya belum menimbulkan masalah mengenai hadits, karena
sahabat sebagian besar masih hidup dan seakan-akan menggantikan peran
nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan
pemecahan, baik mengenai hadist ataupun Al Quran.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab
(tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M), wilayah dakwah Islamiyah dan Daulah
Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul
masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin
banyak jumlah dan jenis masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para
sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang,
namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus
mendorong para sahabat untuk saling bertemu dan bertukar hadist.
Kemudian para sahabat kecil (berusia
muda) mulai mengambil alih tugas penggalian hadits dari para sumbernya,
yaitu para sahabat besar (senior). Kehadiran seorang sahabat besar
selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi’in.
Meski memerlukan perjalanan jauh, para tabi’in ini berusaha menemui
seorang sahabat yang memiliki hadist. Maka, para tabi’in mulai banyak
memiliki hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para
sahabat. Meski demikian, pada masa itu hadist belumlah ditulis apalagi
dibukukan.
Masa Penghimpunan
Musibah besar menimpa umat Islam pada
masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan
diantara sebagian umat Islam yang memakan banyak korban jiwa dan harta
yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya
memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang
Syari’at dan Aqidah dengan membuat hadist maudlu’ (palsu) yang bertujuan
untuk mengesahkan keinginan/ perjuangan mereka yang saling bermusuhan
itu.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan
dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala
(tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan para
tabi’in yang melihat kondisi seperti itu, kemudian mengambil sikap
dengan tidak menerima lagi hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak
mereka miliki. Kalaupun ada yang menerima, para sahabat kecil dan
tabi’in ini sangat berhati-hati. Hadits kemudian diteliti dengan
secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang
membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan
diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka
tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita hadist. Misal,
apakah dia seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah
udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu hadist dan
sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-murid
mereka (tabi’in), yaitu para tabi’ut tabi’in.
Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah
dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720 M) termasuk tabi’in yang
memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan hadist. Para kepala daerah
diperintahkannya untuk menghimpun hadist dari para tabi’in yang terkenal
memiliki banyak hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni
Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri
(tahun 51 – 124 H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas
tersebut. Untuk itu, Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal
yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa
syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad
maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan
kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang maqbul dan
mana yang mardud. Para ahli hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah
menyelamatkan 90 hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang lain.
Di tempat lain pada masa ini, muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :
di Mekkah – Ibnu Juraid (tahun 80 – 150 H / 699 – 767 M)
di Madinah – Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
di Madinah – Sa’id bin ‘Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
di Madinah – Malik bin Anas (tahun 93 – 179 H / 712 – 798 M)
di Madinah – Rabi’in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
di Yaman – Ma’mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
di Syam – Abu ‘Amar Al Auzai (tahun 88 – 157 H / 707 – 773 M)
di Kufah – Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
di Bashrah – Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
di Khurasan – ‘Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 – 181 H / 735 – 798 M)
di Wasith (Irak) – Hasyim (tahun 95 – 153 H / 713 – 770 M)
- Jarir bin ‘Abdullah Hamid (tahun 110 – 188 H / 728 – 804 M)
Yang perlu menjadi “catatan” atas
keberhasilan masa penghimpunan hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II
Hijriyah ini, hadist tersebut belum dipisahkan mana yang marfu’, mana
yang mauquf, dan mana yang maqthu’.
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan,
pelakunya ialah pembuku hadits disebut pendiwan) dan penyusunan hadits
dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah besar dalam masa ini diawali
dengan pengelompokan hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan
mana hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’. Hadits marfu’ ialah hadits
yang berisi perilaku Nabi Muhammad, hadits mauquf ialah hadits yang
berisi perilaku sahabat dan hadits maqthu’ ialah hadits yang berisi
perilaku tabi’in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
Ahmad bin Hambal
‘Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
Musaddad Al Bashri
Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
‘Utsman bin Abi Syu’bah
Karya yang mendapat perhatian besar dari
ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal
(164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 hadits, 10.000 diantaranya
berulang-ulang. Menurut ahlinya, sekiranya Musnadul Kabir ini tetap
sebanyak yang disusun Imam Ahmad, maka tidak ada hadist yang mardud
(tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak
Imam Ahmad sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga
tidak sedikit tercampur dengan yang dha’if dan 4 hadist maudlu’.
Adapun pendiwanan hadits dilaksanakan
dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang
mempelopori usaha ini adalah :
Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al
Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M). Ia adalah salah
satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini kemudian dilanjutkan oleh
Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya,
ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan
kitab hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al
Jami’ush Shahih Muslim, As Sunan Ibnu Majah, dan seterusnya sebagaimana
terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 Hijriyah.
Perlu menjadi catatan pada masa ini (abad
3 H) ialah, telah diusahakannya untuk memisahkan hadits yang shahih
dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam hadits,
yaitu:
Kitab Shahih – (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) – berisi hadits yang shahih saja
Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu Dawud, At
Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain Sunan
Ibnu Majah berisi hadit shahih dan hadits dla’if yang tidak munkar.
Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al Humaidi,
Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi
berbagai macam hadits tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya
digunakan para ahli hadits untuk bahan perbandingan.
Para ahli hadits abad ke- 3 Hijriyah,
tidak banyak mengeluarkan atau menggali hadits dari sumbernya seperti
halnya ahli hadits pada abad ke-2 Hijriyah. Ahli hadits abad ke-3
umumnya melakukan tashih (koreksi atau verifikasi) hadits yang ada,
selain juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad ke-4 Hijriyah,
dapat dikatakan sebagai masa penyelesaian pembinaan hadist. Sedangkan
abad ke-5 Hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab
hadits, menghimpun yang berserakan dan mempermudah metode
pembelajarannya.
Macam-Macam Hadits Ditinjau dari Asal-Muasalnya
1. Hadits Marfu’
Hadits marfu’ adalah ucapan,
perbuatan, persetujuan, akhlaq atau sifat yang disandarkan kepada Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam. Yang dimaksud persetujuan NabI
Shallallahu alaihi wa sallam adalah diamnya beliau terhadap suatu
kejadian yang terjadi dihadapan beliau. Berdasarkan definisi diatas
maka hadits marfu’ terbagi menjadi 4
a. Marfu’ Qouliyah adalah hadits
yang isinya adalah perkataan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Contohnya: seseorang menceritakan bahwa dirinya pernah mendengar Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam berkata ini dan itu
b. Marfu’ Fi’liyah adalah hadits
yang menceritakan bahwa dimasa lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
pernah melakukan perbuatan ini dan itu.
c. Marfu’ taqririyah adalah
hadits yang kandungannya merupakan persetujuan Nabi shallallahu alaihi
wa sallam terhadap sebuah peristiwa yang terjadi dihadapan beliau,
biasanya teks hadits sebagai berikut: seorang sahabat melakukan
perbuatan ini dan itu , sedangkan dihadapan sahabat tersebut terdapat
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam namun beliau diam tidak berkomentar
apapun terhadap perbuatan sahabat itu
d. Marfu’ Wasfiyyah adalah hadits yang didalamnya menceritakan akhlaq atau sifat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
2. Hadits Maqtu’
Hadits Maqtu’ adalah ucapan atau
perbuatan yang disandarkan kepada tabi’in atau orang-orang sesudah
mereka. Untuk tabi’in para ulama mendefinisikannya dengan: setiap
manusia yang bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam dalam keadaan islam dan mengakhiri hidupnya sebagai
seorang muslim serta tidak sempat bertemu dengan Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam meskipun hidup sezaman dengan beliau.
3. Hadits Mauquf
Hadits mauquf adalah segala hal yang
berasal dari sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam baik berupa
ucapan, perbuatan, atau persetujuan. Sahabat adalah setiap manusia yang
bertemu dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan beriman
kepada beliau meskipun sekali dan mati sebagai seorang muslim. Hadits
Mauquf terbagi menjadi dalam tiga bagian
a. Mauquf Qouliyyah yaitu segala
bentuk ucapan yang berasal dari para sahabat Ridwanullahu alaihim,
contohnya: Sahabat Ali Bin Abi Thalib Radhiallahu anhu berkata:
berbicaralah kepada manusia dengan bahasa yang mereka pahami, apakah
kalian mau Allah dan Rasul-Nya didustakan oleh manusia karena engkau
menyampaikan Al Qur’an an As Sunnah dengan bahasa yang tidak mereka
fahami.?
b. Mauquf Fi’liyyah adalah sebuah
perbuatan yang pelakunya adalah seorang sahabat Radhiallahu anhum,
contohnya: imam bukhari meriyawatkan sebuah bahwa Abdullah bin Abbas
Radhiallahu anhumma menjadi imam sedangkan beliau bersuci dengan cara
tayamum
c. Mauquf Taqririyyah atau
persetujuan Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap sebuah
kejadian yang terjadi dihadapan mereka.
4. Hadits Mauquf yang dihukumi sebagai Hadits Marfu’
Jika seorang sahabat berkata: termasuk
diantara sunnah adalah perbuatan ini dan itu, atau ucapan seorang
sahabat: dahulu dimasa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kami melakukan
perbuatan ini dan itu, atau perkataan seorang sahabat dalam sebuah
perkara yang bukan merupakan permasalahan ijtihadiyyah semisal perkara
ghaib atau ibadah maka ketiga macam hal ini dihukumi sebagai hadits
marfu’ karena sisi kesamaannya dalam hal penggunaan hadits tersebut
sebagai landasan dalam beragama.
Demikian yang yang disampaikan, semoga
yang ringkas ini bermanfaat bagi penulis dan kaum muslimin. Segala
bentuk kesalahan dalam tulisan ini berasal dari penulis dan godaan
syaithan, adapun yang benar berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Alhamdulillah aladzi bi ni’matihi tatimus shalihaat
0 komentar:
Posting Komentar