PENDAHULUAN
Sesungguhnya nama merupakan identitas
seseorang, bukti atas dirinya, serta merupakan kebutuhan yang sangat
urgen dalam memahami dirinya di saat bersamanya, atau saat bersikap
kepadanya. Bagi seorang anak, nama merupakan sebuah perhiasan dan syi’ar
yang dengannya ia akan diseru di dunia maupun di akhirat. Nama
merupakan bentuk pujian terhadap agama dan pertanda bahwa ia termasuk
pemeluknya. Lihatlah seseorang yang masuk ke dalam dinul Islam,
bagaimana ia mengubah namanya menjadi nama syar’i, tidak lain karena
nama merupakan syi’ar baginya. Nama juga merupakan tanda yang dapat
mengungkap identitas orang tuanya dan alat pengukur terhadap pemahaman
diennya.
HUKUM PEMBERIAN NAMA
Allah subhanahu wa ta’ala
menuntunkan kepada keturunan Adam untuk memberikan nama pada anak,
sebagaimana Allah telah memberi nama “Yahya” kepada putra Nabi Zakariyya
‘alaihis salam yang akan dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi
kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya,
yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang serupa dengannya.”
(QS Maryam: 7)
Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ mengatakan bahwa para ulama bersepakat atas wajibnya memberikan nama, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Anak yang tidak memiliki nama tidak akan dikenal (majhul)
dan tersamarkan dengan yang lainnya, tidak bisa dibedakan, karena nama
berfungsi untuk menentukan, membedakan, dan mengenali si anak.
Pentingnya nama antara lain:
1. Nama adalah hal pertama yang diperuntukkan bagi anak ketika ia keluar dari kegelapan rahim
2. Nama adalah sifat pertama yang membedakannya dengan sesama jenisnya
3. Nama adalah hal pertama yang
dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang memiliki hubungan
sifat pewarisan dan keturunan
4. Nama adalah bekal bagi seorang anak untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat.
WAKTU PEMBERIAN NAMA
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa waktu pemberian nama itu ada 3 macam:
1. Memberinya nama pada hari kelahirannya
2. Memberinya nama pada hari ketiga dari kelahirannya
3. Memberinya nama pada hari ketujuh dari kelahirannya.
Perbedaan ini hanya bersifat ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan yang bisa ditoleransi) yang menunjukkan bahwa dalam persoalan ini ada kelonggarannya.
YANG BERHAK MEMBERI NAMA
Tidak ada perselisihan bahwa sang ayah
adalah orang yang paling berhak untuk menamai anaknya. Jika seorang ayah
berbeda pendapat dengan seorang ibu dalam menentukan nama untuk
anaknya, maka ayahlah sebagai pihak yang diutamakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang
ibu hendaknya tidak membantah dan menyelisihi. Sementara dalam
musyawarah antara kedua orang tua terdapat suatu kesempatan yang luas
untuk saling meridhai, berlemah-lembut, dan memperkokoh tali hubungan
antarkeluarga.
Sebagaimana telah diriwayatkan dengan shahih dari sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa menyodorkan putra-putri mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
agar beliau berkenan memberikan nama. Hal ini menunjukkan bahwa seorang
ayah hendaknya bermusyawarah dalam memberikan nama dengan seorang ulama
yang mengetahui tentang sunnah atau ahlus sunnah yang terpercaya dalam
dien dan ilmunya agar menunjukkan kepadanya sebuah nama yang baik bagi
anaknya.
NISBAH ANAK
Sebagaimana pemberian nama adalah hak
bagi seorang ayah, maka seorang anak juga dinisbahkan (disandarkan)
kepada ayahnya, bukan kepada ibunya, dan dia dipanggil dengan nama
ayahnya, bukan dengan nama ibunya. Maka dalam penulisan nama, biasa
disebut “fulan bin fulan”, dan bukan dipanggil “fulan bin fulanah”.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada
sisi Allah…” (QS Al Ahzab: 5)
Namun ada kenyataan bahwa terjadi
penghilangan lafazh “ibnu” pada nama fulan ibnu fulan dan ini mulai
menyebar di kalangan kaum muslimin pada abad 14 Hijriyah, sehingga
mereka mengatakan, misalnya Muhammad ‘Abdullah.
Ini merupakan uslub (tata bahasa) yang
dibuat-buat, asing, tidak dikenal oleh bangsa Arab, dan tidak sesuai
dengan lisan mereka, bahkan tidak memiliki kedudukan dalam tata bahasa
Arab (I’rob).
Apakah dunia telah mendengar seseorang yang menyebut nasab Nabi dengan mengatakan Muhammad ‘Abdullah?
Lihatlah bagaimana penghilangan (lafazh
ibnu) ini telah mengundang kesamaran ketika disatukan antara nama
laki-laki dengan nama perempuan, sebagai contoh Asma’ dan Kharijah. Nama
ini tidak akan jelas di atas kertas, kecuali dengan menyambungkan nasab
dengan lafazh “ibnu” fulan atau “binti” fulan.
Terdapat pula kekeliruan para istri yang
menisbahkan namanya kepada suami. Misalnya istri bernama Fathimah bin
‘Abdullah, setelah menikah dengan Ahmad maka ia menisbahkan namanya
menjadi Fathimah Ahmad. Ini banyak dijumpai pada masyarakat umum.
NAMA-NAMA YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN
Urutan dan tingkatan nama-nama yang disunnahkan dan diperbolehkan adalah sebagai berikut:
1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman
Disunnahkan memberi nama dengan dua nama
yakni ‘Abdullah (hamba Allah) dan ‘Abdurrahman (hambanya Yang Maha
Pengasih), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَحَبَّ اْلأَسْمَاءِ إِلَى اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai
oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” (HR Muslim, Abu Dawud dan
selainnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga telah menamai putra pamannya—‘Abbas radhiyallahu ‘anhu—dengan nama ‘Abdullah.
Di kalangan para sahabat ada sekitar 300
orang yang semuanya bernama ‘Abdullah. Begitu pula bayi pertama yang
lahir dari kalangan kaum Muhajirin setelah hijrah ke Madinah adalah
bernama ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu.
2. ‘Abdu dari Asmaul Husna
Disunnahkan memberi nama dengan ta’bid
(memakai lafazh ‘abdu) dengan nama-nama Allah yang baik (asmaul husna),
seperti ‘Abdul Aziz (hambanya Yang Maha Mulia), ‘Abdul Malik (hambanya
Yang Maha menguasai), dan lain-lain.
3. Nama-nama Nabi dan Rasul
Para nabi dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala
merupakan pemimpin anak Adam. Akhlaq mereka merupakan semulia-mulia
akhlaq dan amalan mereka merupakan amalan yang paling suci sehingga bila
menamai dengan nama mereka akan mengingatkan kita pada kemuliaan
mereka.
Ulama telah bersepakat akan bolehnya memberi nama dengan nama mereka. (Syarhu Muslim oleh Imam Nawawi 8/437 dan lihat Maratibul Ijma’ hlm. 154-155)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menamakan salah seorang anaknya dengan nama Nabi, sebagaimana sabda beliau:
وُلِدَلِي اللَّيْلَةَ غُلاَمُ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ
“Semalam telah lahir untukku seorang anak
laki-laki, maka aku beri nama dengan nama moyangku, Ibrahim.” (HR
Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Yang paling afdhol dari nama para nabi adalah nama nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini beliau bersabda:
سَمُّوا بِاسْمِي وَلاَ تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي
“Namailah oleh kalian dengan namaku dan jangan berkunyah dengan kun-yahku.” (Hadits riwayat Al Bukhari 10/571-Fathul Bari, Muslim 14/359-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4965, Tirmidzi 2841, dll)
4. Nama-nama Orang Shalih
Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ
“Sesungguhnya mereka (umat-umat
terdahulu) menamakan dengan nama para nabi mereka dan orang-orang shalih
sebelum mereka.” (HR Muslim)
Seorang sahabat bernama Zubair bin Al ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu menamakan anak laki-lakinya yang berjumlah 9 orang dengan nama para syuhada. Mereka adalah:
a) ‘Abdullah (diambil dari nama ‘Abdullah bin Jahsy, syahid dalam Perang Uhud)
b) Al Mundzir (diambil dari nama Al Mundzir bin ‘Amr Al Anshari)
c) ‘Urwah (diambil dari nama ‘Urwah bin Mad’ud Ats Tsaqafi)
d) Hamzah (diambil dari nama Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, syahid dalam Perang Uhud)
e) Ja’far (diambil dari nama Ja’far bin Abi Thalib, syahid dalam Perang Mu’tah)
f) Mush’ab (diambil dari nama Mush’ab bin ‘Umair, pembawa bendera dan syahid dalam Perang Uhud)
g) ‘Ubaidah (diambil dari nama ‘Ubaidah bin Al Harits, syahid dalam Perang Badr)
h) Khalid (diambil dari nama Khalid bin Sa’id)
i) ‘Umar (diambil dari nama ‘Umar bin Sa’id, saudara Khalid bin Sa’id terbunuh dalam Perang Yarmuk).
Demikian pula, dapat ditemukan di
kalangan kaum muslimin ada seseorang yang menamai anak-anaknya dengan
nama-nama Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum yaitu Abu
Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali. Nama para sahabat Nabi antara lain:
‘Ammar, ‘Amr, Bilal, Hudzaifah, Jabir, Mu’awiyah, Salman, Sufyan,
‘Ukkasyah, Ubay. Nama para ulama seperti Al Fudhail, Syu’bah, Hammad,
‘Ubaid.
Dan ada pula yang menamai anak-anak perempuannya dengan nama-nama para ummahatul mu’minin, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
yakni: Khadijah, Saudah, ‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah,
Zainab, Shafiyyah, Juwairiyah, Maimunah. Juga putri Nabi: Fathimah,
Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum. Banyak pula para shahabiyah seperti
Asma’, Sumayyah, Ummu Sulaim, Ummu Waraqah, Asy Syifa’, Ummu Hakim, Ummu
Aiman, Hindun, Ummu Syarik, Ummu Fadhl, Ar Ruba’i, Khansa’, Khaulah,
Ummu Rumman, Ummu Umarah, Ummu Mahjan, dan lain-lain
5. Nama-nama yang Sifatnya Benar
Nama anak dinilai mengandung sifat syar’i jika memenuhi dua syarat berikut ini:
Pertama, nama tersebut berasal dari bahasa Arab, sehingga tidak termasuk di dalamnya setiap nama ‘ajam (asing/non Arab), campuran, ataupun diserap ke dalam lisan Arab.
Kedua, nama tersebut
baik maknanya secara bahasa dan syar’i, sehingga tidak boleh menamai
dengan nama-nama yang mengandung unsur tazkiyyah (menganggap dirinya
suci), celaan ataupun cercaan. Contoh nama yang mengandung tazkiyyah:
Aflah (yang paling berhasil), Rabbah (yang paling beruntung), Yassar
(yang paling mudah), Muthi’ah (perempuan yang taat). Contoh nama yang
mengandung celaan: ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat).
ADAB PEMBERIAN NAMA
Nama memiliki sejumlah adab sebagai berikut:
1. Bersungguh-sungguh untuk memilih nama yang paling dicintai
2. Memperhatikan sedikitnya huruf seoptimal mungkin
3. Memperhatikan ringannya untuk diucapkan oleh lisan
4. Memperhatikan pemberian nama yang cepat menghujam dalam pendengaran seseorang
5. Memperhatikan kesesuaian
NAMA-NAMA YANG DIHARAMKAN
Syari’at telah mengharamkan pemberian nama dengan salah satu dari bentuk penamaan di bawah ini:
1. Nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala,
seperti nama ‘Abdur Rasul (hambanya rasul), ‘Abdu Ali (hambanya Ali),
‘Abdul Husain (hambanya Al Husain), ‘Abdusy Syams (hambanya matahari),
dan lain-lain.
2. Nama-nama yang khusus untuk Allah tabaraka wa ta’ala seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Khaliq, Al Bari’, dan lain-lain.
3. Nama-nama ‘ajam (selain
Arab) yang biasa digunakan oleh orang-orang kafir seperti nama Petrus,
George, Diana, Rosa, Suzan, Steven, dan semisalnya. Ini merupakan taqlid
(ikut-ikutan/membebek) kepada orang kafir yang bila disertai keyakinan
bahwa nama-nama mereka lebih baik daripada nama-nama kaum muslimin maka
ini merupakan bahaya yang besar yang dapat menggelincirkan pokok
keimanan.
4. Nama-nama berhala seperti Latta, ‘Uzza, Isaf, Nailah, dan Hubal.
5. Nama-nama ‘ajam dari Turki,
Persia (Iran), Barbar atau selainnya yang tidak sesuai dengan bahasa
Arab dan lisannya, di antaranya Nariman, Syerehan, Nevin, Syeirin,
Syadi, dan Jihan.
6. Nama yang mengandung klaim terhadap
apa yang tidak ada pada si penyandang nama, seperti Malakul Amlak (raja
diraja), Sulthanus Salathin (sultan segala sultan), Hakimul Hukkam
(hakim segala hakim), Sayyidun Nas (pemimpin seluruh manusia), Sittun
Nisa’ (penghulu seluruh wanita).
7. Nama-nama syaithan seperti Hinzab, Al Walhan, Al ‘Awar, Al Ajda.
NAMA-NAMA YANG DIMAKRUHKAN
Berikut ini beberapa nama yang dimakruhkan atau tidak disukai penggunaannya:
1. Nama yang menyebabkan hati cenderung
untuk menjauh darinya karena makna yang terkandung padanya seperti Harb
(perang), Murroh (pahit), Khonjar (pisau besar), Fadhih (membuka
aibnya), Fahith (terancam bahaya), Nadiyah (jauh dari air), dan
lain-lain.
2. Nama yang mengundang syahwat yang
banyak digunakan pada perempuan, di antaranya Ahlam (lamunan), Arij
(perempuan yang semerbak baunya), ‘Abir (perempuan yang harum baunya),
Ghodah (perempuan yang lemah-gemulai/genit), Fathin (pembuat fitnah),
dan Syadiyah (penyanyi).
3. Nama kaum fasiq yang kosong hatinya dari kemuliaan iman, seperti nama para artis, penyanyi, pelawak.
4. Nama yang menunjukkan atas dosa dan maksiat seperti nama Zhalim bin Sarraq (Zhalim bin pencuri).
5. Nama-nama tokoh kekafiran seperti Fir’aun, Qarun, Haman.
6. Nama yang dibenci seperti Khabiyyah bin Kannaz (penilep bin penimbun).
7. Nama-nama hewan yang terkenal dengan
sifat kotor seperti Hanasy (ular berbisa), Himar (keledai), Qunfudz
(landak), Qunaifadz (landak kecil), Qirdani (kutu binatang), Kalb
(anjing), Kulaib (anjing kecil).
8. Nama yang disandangkan kepada lafazh
ad dien dan al Islam, seperti Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (sinar
agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam).
Sebenarnya Imam Nawawi tidak suka dirinya diberi laqob (gelar) dengan
Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah juga tidak suka diberi gelar Taqiyyuddin (yang menjaga agama).
Beliau berkata, “Akan tetapi keluargaku menggelariku dengannya kemudian
menjadi terkenallah gelar tersebut.”
9. Nama yang murakkab (tersusun
rangkap/lebih dari satu), seperti Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id.
Nama-nama tersebut mengundang keraguan dan percampuran. Karenanya hal
tersebut tidak dikenal di kalangan salaf, dan merupakan nama orang-orang
abad belakangan. Termasuk pula nama-nama yang disandarkan kepada lafazh
Allah seperti Hasbullah (cukuplah Allah sebagai penolong), Rahmatullah
(rahmat Allah), kecuali nama ‘Abdullah (hamba Allah) karena ia adalah
nama yang paling disukai Allah subhanahu wa ta’ala.
10. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama para malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil.
11. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama dari surat-surat Al Qur’anul Karim misalnya Thoha, Yasin, Hamim.
SOLUSI DARI NAMA YANG HARAM ATAU MAKRUH
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti nama yang buruk dengan nama yang baik.” (HR Tirmidzi 2/137, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 207)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengganti nama Hazn (kesedihan) dengan Sahl (mudah), nama Harb (perang) dengan Salam (damai).
Tampak pula dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa beliau mengganti nama yang tidak baik dengan nama yang mendekati
pengucapannya seperti beliau mengganti nama Syihab (meteor) menjadi
Hisyam (kedermawanan), Jatstsamah (yang banyak mendekam) menjadi
Hassanah (kebaikan).
Demikian pula mengganti nama ‘Abdun Nabi
(hambanya nabi) menjadi ‘Abdul Ghani (hambanya Yang Maha Kaya), ‘Abdur
Rasul (hambanya rasul) menjadi ‘Abdul Ghafur (hambanya Yang Maha
Pengampun), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain) menjadi ‘Abdurrahman,
Hanasy (ular berbisa) menjadi Anas (ramah).
SUNNAH MEMBERI KUN-YAH
Kun-yah adalah nama yang dimulai
dengan kata “Abu” (ayah) untuk laki-laki dan “Ummu” (ibu) untuk
perempuan, misalnya Abu Muhammad (ayahnya Muhammad) dan Ummu Muhammad
(ibunya Muhammad). Demikian pula kun-yah dengan memakai kata “ibnu” (putra) dan “ibnatu” atau “bintu” (putri), seperti Ibnu ‘Umar dan Bintu ‘Umar.
Memberi kun-yah ini merupakan perkara yang sunnah, namun sayangnya banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Kun-yah dapat pula diberikan kepada anak kecil, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan kun-yahnya bukan dengan namanya, beliau bersabda:
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟
“Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan burung kecil itu?” (HR Al Bukhari 6203-Fathul Bari, Muslim 2150-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4969, Tirmidzi 1989, dan selainnya)
Imam Al Bukhari rahimahullah membuat bab tersendiri tentang masalah ini dan beliau namakan “Bab Memberi Kun-yah untuk Anak Kecil dan untuk Laki-laki yang Belum Memiliki Anak”.
Pemberian kun-yah itu tidak memutlakkan bahwa yang diberi kun-yah sudah memiliki anak. Sebagaimana ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memiliki kun-yah Abu Hafsh padahal tidak ada di antara putranya yang bernama Hafsh. Demikian pula Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak ada putranya yang bernama Bakr. Dari kalangan perempuan, telah ma’ruf bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki kun-yah Ummu ‘Abdillah padahal ‘Aisyah tidak memiliki seorang anak pun.
NISBAH KEPADA NEGERI KELAHIRAN, PEKERJAAN, KETERKENALAN, MANHAJ SALAF
Para salaf (pendahulu) shalih kaum
muslimin ada yang dikenal dengan nama negeri kelahirannya, pekerjaan,
dan hal-hal khusus/unik yang membuatnya dikenal masyarakat.
Sebagai contoh Muhammad bin ‘Ismail bin Al Mughirah yang kun-yahnya
Abu ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang menyusun kitab (hadits)
paling shahih setelah Al Qur’an, lahir di negeri Bukhara, beliau lebih
dikenal dengan nama Imam Al Bukhari.
Sahabat Nabi, Salman radhiyallahu ‘anhu bernisbah
Al Farisi karena berasal dari negeri Persia. Banyak pula nisbah
berdasarkan negerinya seperti Al Bashri karena lahir di kota Bashrah
(Iraq), Al Mishri lahir di Mesir, Al Madani lahir di Madinah, Al Kufi
lahir di Kufah (Iraq), Al Albani lahir di negara Albania, Al Jazairi
lahir di Aljazair.
Ada Abu ‘Utsman, penulis kitab ‘Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits
yang bernama asli Isma’il bin ‘Abdurrahman yang hidup di lingkungan
pekerja pembuat sabun, maka beliau dinisbahkan dengan nama Imam Abu
‘Utsman Ash Shabuni.
Perawi hadits, Sulaiman bin Mihran diberi
laqob (gelar/julukan) dengan Al A’masy (seorang rabun) karena beliau
bermasalah dengan penglihatannya. ‘Abdurrahman bin Hurmuz dijuluki Al
A’raj (seorang yang cacat kakinya) karena memang ada kekurangan fisik
pada kakinya. Pemberian laqob ini diperbolehkan hanya dalam rangka
pengenalan, tetapi diharamkan penyebutan laqob tersebut jika dalam
bentuk pelecehan.
Sedangkan nisbah kepada manhaj yang
selamat seperti bernisbah dengan As Salafi (pengikut salaf), Al Atsari
(pengikut atsar/hadits) merupakan perkara yang terpuji. Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Penisbatan kepada
salaf ini akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada
mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh jalan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).”
Rujukan:
1. Tasmiyatul Maulud karya Syaikh Bakr Abu Zaid, edisi Indonesia: Nama-nama Indah buat Sang Bayi, cetakan V, Penerbit Al Qowam
2. Berhias dengan Nama Syar’i (Syarat,
Hukum, dan Adab-adabnya) oleh Abul Muslim Al Atsari & Zulfa, artikel
di Majalah Salafy edisi XX/1418/1997 Lembar Muslimah hlm. 8-19
3. CD-45 Tasjilat Al Atsariyyah track 01: Biografi Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdirrahman Ash Shabuni An Naisaburi
4. Mengapa kita harus menamai diri kita Salafy, artikel di Majalah Salafy edisi perdana/Syaban/1416/1995, hlm. 8-10
0 komentar:
Posting Komentar